Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!


Dahulu kala, di neeri Kazakhtan, hiduplah seorang penggembala miskin yang bernama Chassen. Suatu hari ia mendapatkan musibah. Kandang tempat domba-dombanya terbakar oleh api. Begitupun juga dengan hewan peliharaannya itu juga ikut terbakar. 


Karena merasa tidak mempunyai apa-apa lagi, ia berniat untuk meninggalkan desanya untuk mencari pekerjaan di daerah lain. 


Sebelum pergi, ia menemui sahabat baiknya, Assan. Chassen hendak mengucapkan salam perpisahan kepada sahabatnya itu. 


"Sahabatku Assan, sekarang aku sudah tidak mempunyai apa-apa lagi, kandang dan domba-dombaku telah terbakar, aku ingin pergi merantau agar aku bisa bertahan hidup" kata Chassen kepada Assan. 


"Chassen sahabatku, kamu jangan pergi, bekerjalah bersamaku, Ambillah sebagian dari ladangku untuk kau tanami." Bujuk Assan yang merasa iba dengan nasib Chassen. 


Jawaban Assan disambut gembira oleh Chassen. Dan sejak saat itu, Chassen mulai berladang dengan hati gembira. Ia mengelolah sepetak kecil tanah yang diberikan oleh sahabatnya. 


Suatu hari, ketika musim semi menjelang, Chassen hendak menanami ladangnya. Tiba-tiba, ia menemukan sebuah ketel penuh dengan uang emas dari dalam tanah yang sedang dibajaknya. Chassen bergegas menemui Assan untuk menyerahkan ketel itu. 


"Sahabatku Assan, saat aku sedang membajak, aku menemukan ketel ini di ladang, ambillah.." kata Chassen. 


"Terima kasih, Chassen. Tetapi harta itu milikmu. Kamu telah menemukan di ladangmu sendiri," Jawab Assan sambil tertawa. 


"Sahabatku Assan, kamu benar-benar orang yang baik. Kamu memang sudah memberikan ladang itu kepadaku tapi tidak dengan ketel ini." Kata Chassen. 


Lama mereka berdebat tentang siapa yang berhak atas ketel itu, akhirnya mereka menemukan jalan keluarnya. Assan dan Chassen memutuskan untuk menikahkan putra Chassen, Golbaev dengan putri Assan, Zhulduz. Setelah itu, mereka memberikan harta itu kepada putra putri mereka. 


Pesta pernikahan putra putri Chassen dan Assan pun berlangsung. Namun, baru saja pesta pernikahan digelar, pasangan pengantin baru itu menemui Assan dan Chassen, mereka hendak mengembalikan ketel yang diberikan oleh kedua orang tuanya. 


"Maafkan kami ayahanda, Cinta kami lebih berharga dibandingkan dengan seluruh harta di dunia ini." kata Golbaev dan Zhulduz. 


Mendengar kata-kata anaknya itu, Assan dan Chassen kebingungan. Akhirnya, mereka meminta nasihat dari orang cerdik dan pandai bernama Turgut Lykos. 


Turgut Lykos memiliki empat orang murid: Akhsansiri, Marat, Yerzhan, dan Aibek. Turgut Lykos ingin mengetahui pendapat murid-muridnya dalam menyelesaikan masalah Assan dan Chassen. 


"Serahkan saja harta itu kepada Raja," usul Akhsansiri. 

"Tidak, Harata yang berada dalam sengketa adalah milik hakim," ujar Marat. 

"Kubur kembali harta itu di tempat semula," sahut Yerzhan. 

"Aku inign membangun sebuah kebun yang luas dengan harta itu, agar orang-orang miskin dapat beristirahat dan hidup dari hasil kebun itu," kata Aibek. 


Turgut Lykos sangat puas mendengar jawaban Aibek. Kemudian ia segera menyuruh Aibek pergi ke kota untuk membeli bibit terbaik dengan harta itu. 


Sesampai di kota, tiba-tiba Aibek melihat karavan berisi ribuan burung dengan kaki terikat. 


"Aku akan membawa burung-burung ini ke istana untuk menjadi santapan Raja Botagos. Ia membayarku dengan lima ratus keping uang emas." Jawab sopir karavan, ketika Aibek bertanya. 

Aibek kemudian membeli burung-burung itu dengan harga dua kali lipat. Lalu, ia melepaskannya ke udara. Tetapi, Aibek pun jadi kebingungan. Sebab, tidak ada sisa uang emas sedikit pun untuk membeli bibit. Dengan langkah gontai, ia pulang menuju desanya. 


Di perjalanan, Aibek merasa sangat lelah. Akhirnya, ia tertidur. Dalam tidurnya, ia bermimpi bertemu dengan burung-burung yang dibebaskannya tadi. 


"Jangan bersedih wahai Aibek, Kami akan menolongmu. Bangunlah!" seru burung-burung itu. 


Aibek terbangun kaget. Ia langsung terjaga. Alangkah kagetnya ia melihat ribuan burung sedang membuat lubang-lubang di tanah. Selanjutnya burung-burung itu menjatuhkan bibit-bibit tanaman ke dalamnya. Kemudian, burung-burung itu menutupnya kembali dengan tanah. 


Tiba-tiba, badai datang menyapu bumi. Tak lama kemudian, tunas-tunas bermunculan dari dalam tanah dan terus tumbuh membesar. Dalam sekejap saja, tanah itu telah ditumbuhi pohon-pohon yang berbuah ranum dan lebat. 


Itulah kebun impian Aibek. Bunga-bunga di dalamnya tidak pernah layu. Air tidak pernah habis. Buah-buahan tidak pernah berkurang meskipun berkali-kali dipetik. 


Jika para bangsawan ingin memasukinya, mereka akan terhalang oleh pintu berterali besi dengan tujuh buah kunci. Tetapi, jika yang hendak jmasuk kesana adalah orang-orang miskin, pintu besi itu akan terbuka lebar. Disana mereka bebas berpesta menikmati kebahagiaan yang dulu tak pernah mereka rasakan.